ALAMAT :

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sekretariat : Gedung Balaikota DKI Jakarta, Blok F Lantai 3, Jl.Medan Merdeka Selatan No.8-9, Jakarta Pusat. Telp/Fax (021) 352.1623, HP.0812 8163 3337, 0856 4540 8945, E-mail : antonagusta@gmail.com
, c/p : Anton
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Jumat, 27 Maret 2015

Humanitarian Forum Indonesia untuk Masyarakat Lebih Tangguh

Menyikapi Hasil Konferensi Dunia untuk Pengurangan Risiko Bencana ke-3

Konferensi Dunia untuk Pengurangan Risiko Bencana ke-3 (3rd WCDRR) telah berakhir di Jepang. Pertemuan Dunia yang diselenggarakan oleh Badan PBB untuk Strategi Pengurangan Risiko Bencana (UN-ISDR) dan Pemerintah Jepang ini dilaksanakan selama 5 hari sejak 14 – 18 Maret 2015 di Kota Sendai, Prefektur Miyagi, Jepang, yang menghasilkan beberapa outcome dokumen diantaranya Deklarasi Sendai dan Kerangka Aksi Sendai – untuk Pengurangan Risiko Bencana (SF for DRR).

Kerangka kerja ini telah disetujui setelah negosiasi panjang yang ditandai dengan kurangnya kemauan politik negara-negara untuk menghasilkan dokumen yang kuat dan ambisius. Hasil dari kurangnya kesepakatan antar pemerintah dalam proses negosiasi, yang berdampak pada molornya proses penutupan konferensi, membuat pemerintah Jepang mengambil langkah sendiri dalam menyelesaikan proses negosiasi dan debat pada setiap item dokumen.

“Hasil dari dokumen ini dikhawatirkan tidak akan menyentuh pada masyarakat yang betul-betul rentan sementara kekuatan itu ada di masyarakat” kata Surya Rahman Muhammad, Direktur Eksekutif Humanitarian Forum Indonesia (HFI).

Sementara itu kejadian bencana diseluruh dunia juga semakin meningkat, seperti Siklon Pam di Vanuatu, dan kejadian gempa di Banggai, Sulawesi Tengah yang terjadi disaat konferensi ini berlangsung, dan pemerintah juga harus berjuang untuk memperoleh kesepakatan untuk proses penanggulangan yang lebih baik.

Kerangka ini akan berlangsung selama 15 tahun ke depan, yang diharapkan dapat memandu seluruh pekerjaan yang berhubungan dengan pengurangan risiko bencana dan adaptasi perubahan iklim mulai di tingkat lokal, nasional, regional dan internasional. Pendekatan dari kebijakan dan praktek ini diharapkan dapat memenuhi tantangan penanggulangan bencana yang semakin meningkat, yang berdasarkan hasil data dan pernyataan dikeluarkan oleh BNPB, kejadian bencana didominasi oleh faktor iklim (bencana hidrometerologi) dan mencapai lebih dari 90%1.

Humanitarian Forum Indonesia dan beberapa organisasi berbasis agama berkumpul di Sendai dan menyatakan kekecewaan mereka bahwa kerangka ini telah gagal untuk mengakui kontribusi dari iman melalui organisasi berbasis iman dan komunitas berbasis iman dalam konteks pengurangan risiko bencana dan adaptasi perubahan iklim.

Namun komitmen ini tetap akan diwujudkan untuk meningkatkan ketahanan masyarakat dalam mengurangi risiko bencana dan perubahan iklim. Komitmen-komitmen tersebut termaktub dalam 2 dokumen ini hanya akan dapat dilakukan jika menempatkan masyarakat sebagai pusat dan meminta pertanggungjawaban pemerintah yang memiliki tanggung jawab untuk pengurangan risiko bencana dan adaptasi perubahan iklimyang kuat.


SEKILAS TENTANG HFI :

Humanitarian Forum Indonesia dan 13 anggotanya yang merupakan lembaga berbasis iman di Indonesia yaitu Muhammadiyah Disaster Management Centre, Dompet Dhuafa, Yakkum Emergency Unit, Yayasan Tanggul Bencana Indonesia, Wahana Visi Indonesia, KARINA, Perkumpulan Peningkatan Keberdayaan Masyarakat, PKPU, Church World Services Indonesia, Habitat for Humanity Indonesia, Unit PRB-PGI, Rebana Indonesia dan Rumah Zakat.

Siap memainkan perannya dalam bekerja sama dengan masyarakat untuk penguatan dan tindakan dalam mengurangi risiko bencana dan adaptasi perubahan iklim mulai di tingkat lokal hingga nasional, yang merupakan mandat dalam Piagam Kemanusiaan dan Undang-Undang No.24 tahun 2007 mengenai Penanggulangan Bencana.

Surya juga menambahkan : Humanitarian Forum Indonesia dan anggotanya menyatakan bahwa Konferensi Sendai akan mempercepat negosiasi untuk penguatan masyarakat lokal dan kelompok rentan dalam pengurangan risiko bencana dan perubahan iklim, dan melakukan yang inisiatif-inisiatif yang mengangkat kelompok rentan. Jakarta, 20 Maret 2015 Surya Rahman Muhammad Direktur Eksekutif Humanitarian Forum Indonesia (*)

Contact Person: Sekretariat HFI d/a Jl KH Wahid Hasyim No.2 Menteng Jakarta Pusat 10340 cp Dear Sinandang (08174926247 / dear@humanitarianforumindonesia.org)

(update by : ratman)

Earth Hour 2015 Juga Mendukung Konservasi Alam

Forumijau.com (@ForumHijau_ID) - Earth Hour tahun 2015 ini dirayakan dengan mematikan lampu selama satu jam yakni pada Sabtu (28/3/2015) pukul 20.30-21.30 waktu setempat .
Mematikan lampu menjadi simbol perjuangan untuk lingkungan yang lebih baik. Pesan kali ini Change for Climate Change, mari kita berubah untuk menghadapi perubahan iklim.
Aksi ini bisa dilakukan siapa saja. Tidak harus komunitas lingkungan karena secara individu masing-masing dapat terlibat untuk menciptakan lingkungan yang lebih baik dengan mematikan lampu mendukung kampanye Earth Hour.
Lambang 60+ pada kampanye Earth Hour, memiliki arti lebih sesuai tanda plus di belakangnya. Kegiatan tidak sebatas mematikan lampu selama satu jam, tetapi ada banyak kegiatan lain seperti ikut mendukung kegiatan konservasi hingga mengubah gaya hidup yang lebih ramah lingkungan.
Semua individu bisa turun ke lapangan pada perayaan Earth Hour nanti. Tapi dukungan publik juga bisa diberikan secara online dengan memilih sendiri program konservasi apa yang ingin kamu dukung.
Kali ini fokus program konservasi mangrove, terumbu karang, dan penyu dilakukan di tujuh daerah, dan publik dapat melakukan dukungan melalui lamanindokasih.com.
Sedangkan gerakan perubahan gaya hidup dapat diikuti publik dengan menandatangani sikapnya di laman change.org/indonesia dengan melakukan tiga prinsip utama yakni mengenal, mencari tahu, serta memahami latar belakang produk sebelum mengonsumsinya.
Dengan mengenal, mencari tahu, serta memahami tentang latar belakang produk yang dikonsumsi tentu turut menentukan ketahanan dan kerentanan bumi terhadap dampak perubahan iklim.
Earth Hour di Indonesia pertama dilakukan tahun 2009. Pada 2015, setidaknya ada 30 kota yang berpartisipasi dari gerakan ini, di antaranya Aceh, Padang, Medan, Palembang, Pekanbaru, Lampung, Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Bandung, Cimahi, Solo, Yogyakarta, Surabaya, Malang, Kota Baru, Sidoarjo, Kediri, Denpasar, Mataram, Pontianak, Palangka Raya, Banjarmasin, Balikpapan, Samarinda, Palu, dan Makassar.
Earth Hour yang diinisiasi di Sydney, Australia, yang memasuki tahun ke-7 di dunia berkembang dari satu kota menjadi 7.000 kota, dan dari satu negara menjadi 162 negara hingga menjadi kampanye lingkungan hidup global terbesar.
Dalam perhitungan yang pernah dilakukan sebelumnya apabila 10 persen penduduk Jakarta berpartisipasi dalam Earth Hour, mematikan listrik selama satu jam, dapat menghemat konsumsi listriknya sebesar 300 MWh atau setara dengan mematikan satu pembangkit listrik. 

(sumber : ForumHijau.com)

Senin, 23 Maret 2015

OPTIMALISASI KETERLIBATAN SEKTOR USAHA DALAM PENGURANGAN RISIKO BENCANA DAN PEMBANGUNAN KETAHANAN

TIDAK -Hanya perusahaan-perusahaan swasta, lembaga-lembaga publik jug amengalami kerugian internal dan eksternal dari bencana. Risiki dalam bisnis meningkat ketika perusahaan berinvestasi untuk insfratsruktur value chain (rantai nilai) seperti pabrik, kantor, dan gudang di lokasi yang terkena bencana. Dalam hal ini, banyak perusahaan melaporkan bahwa kelangsungan bisnis setelah terjadinya bencana merupakan masalah serius bagi sektor swasta. Risiko perusahaan-perusahaan tersebut terhadap reseiko bencana tidak hanya berupa hilangnya aset, tetapi juga dampaknya terhadap sistem pendukung rantai pasokan dan rantai pemasaran, mulai dari distributor sampai pelanggan, pemasok, pasar dan sebagainya.

Berdasarkan pengalaman, perusahaan-perusahaan swasta telah melakukan kesiapsiagaan untuk proses internal mereka terkait dengan risiki bencana tersebut. Perusahaan yang berbeda menggunakan pendekatan yang berbeda pula untuk mengurangi risiko bencana pada bisnis mereka.

Beberapa perusahaan besar telah mengadopsi konsep keberlanjutan perusahaan dengan mengidentifikasi dan menunjukan dampak yang seharusnya dapat melihat bencana dalam bisnis jangka panjang. Namun, manajemen risiko bencana oleh sektor usaha memilili manfaat sosial-ekonomi yang lebih luas.

Scoping study ini membahas isu-isu yang relevan mengenai pengaruh keterlibatan sektor swasta dalam PRB di Indonesia. Dengan membandingkan pola yang berbeda dalam keterlibatan sektor swasta  dalam inisiatif PRB, munculah kesimpulan awal yaitu, ada kemungkinan untuk melibatkan pelaku sektor swasta secara aktif dan efektif dalam pengurangan risiko bencana dan pembangunan ketahanan.

Pneglaman pahit dari peristiwa bencana besar di masa lalu telah membuat pmerintah Indonesia menyadari bahwa penanggulangan bencana harus disusun dalam kerangka sistematik dan terintegrasi ke dalam proses pembangunan. Pelaksanaan PRB masih belum optimal, karena kurangnya kesadaran dan pemahaman akan ksiapsiagaan bencana dan kurangnya kapasitas di wilayah pasca bencana. Koordinasi dalam penanggulangan benca jauh lebih banyak dilakukan saat tanggap darudat, ada kebutuhan untuk meningkatkan koordinasi dalam manajemen risiko, sebelum, saat dan sesudah terjadi bencana.

Studi ini menunjukan adanya berbagai bentuk kolaborasi dalam keterlibatan sektor swasta sesuai dengan skala bisnis dan sifat bisnis di tahap penanggulangan bencana. Sektor swasta telah terlibat dalam semua tahap manajemen bencana, namun masih ada yang perlu ditingkatkan. Penelitian ini menguji, bagaimana pola yang ada bisa menciptakan praktek-preaktek terbaik dalam keterlibatan siklus manajemen bencana secara komprehensif.

Dalam kolaborasi-kolaborasi usaha dengan aktor-aktor lain, ditemukan empat kesenjangan berpengaruh besar (kebijakan, kapasitas, koordinasi, komunikasi). tantangan bagi keterlibatan ini adalah memahami bagaimana bekerja dengan keragaman kelompok,organisasi, kebijakan dan prakik yang muncul dalam upaya untuk meningkatkan kemampuan sektor swasta dalam mencegah, melindungi, mengurangi, menanggapi, dan memulihkan berbagai jenis ancaman atau bahaya secara efektif. Pembelajaran yang di dapat dari lembaga lain dapat meningkatkan keterlibatan sektor swasta dalam PRB. hal ini juga mengidentifikasi banyak kesenjangan pada aspek tingkat kebijakan dan kapasitas. namun demikian, kebijakan dan kapasitas tersebut dipengaruhi oleh aspek komunikasi dan koordinasi. Selain itu, penyebaran informasi merupakan salah satu hal paling signifikan yang memerlukan perbaikan.

Kesejnangan kapasitas menuntut perhatian lebih atas masuknya usaha mikro dan usaha kecil menengah dalam program pengurangan risiko bencana karena UMKM (Usaha Mikro Kecil menengah) terkena dampak bencana paling besar. Kita bisa melihat bahwa perusahaan besar memiliki kapasitas lebih besar dari perusahaan mikro dan perusahaan kecil menengah. Beberapa perusahaan besar mampu membangun keamanan proses bisnis secara internal dan eksternal, tidak hanya terkait keuntungan, tetapi juga mempertimbangkan kereblangsungan manusia dan bumi. Hal ini untuk menjadi sektor swasta tangguh dan mampu untuk mendukung masyarakat menjadi tangguh.


(ratman/prbapidki)



Deklarasi Sendai : Hasil Konferensi Dunia PBB Ketiga tentang Pengurangan Risiko Bencana


  1. Kami para Kepala negara dan Pemerintahan, Menteri dan Delegasi yang berpartisipasi dalam Konfrensi Dunia PBB Ketiga tentang Pengurangan Risiko Bencana, telah dikumpulkan dari tanggal 14 - 18 Maret 2015 di Kota Sendai Miyagi Prefektur di Jepang, yang telah menunjukan pemulihan hidup dari Gempa Besar jepang Timur pada Maret 2011. Menyadari dampak meningkatnya bencana dan kompleksitas mereka di berbagai belahan dunia, kami menyatakan tekad kami untuk meningkatkan upaya memperkuat pengurangan risiko bencana untuk mengurangi kerugian bencana, kehidupan dan aset di seluruh dunia.
  2. Kami menghargai peran penting yang dimainkan oleh Kerangka Aksi Hyogo 2005 - 2015 : Membangun Ketahanan Bangsa dan Komunitas terhadap Bencana selama sepuluh tahun terakhir. Setelah menyelesaikan penilaian dan review dan dianggap sebagai pengalaman yang diperoleh di bawah pelaksanaanya, dengan ini kami lanjutkan dengan Kerangka Sendai Pengurangan Risiko Bencana 2015 - 2030. Kami sangat berkomitmen untuk pelaksanaan kerangka baru ini sebagai petunjuk untuk meningkatkan upaya pengurangan risiko bencana di masa depan.
  3. Kami meminta semua pihak untuk bertindak bersama-sama menyadari bahwa realisasi kerangka baru tergantung pada upaya tak henti-hentinya dan tak kenal lelah kita bersama untuk membuat dunia lebih aman dari risiko bencana dalam beberapa dekade ke depan untuk kepentingan generasi sekarang dan mendatang.
  4. Kami berterima kasih kepada orang-orang dan Pemerintah Jepang serta Kota Sendia atas kesediaanya menjadi tuan rumah Konfrensi Dunia PBB Ketiga tentang Pengurangan Risiko Bencana dan menyampaikan penghargaan kepada Jepang atas komitmennya untuk memajukan pengurangan risiko bencana dalam agenda pembangunan global.

Sendai, Jepang 2015


(ratman/prbapidki/2015)

Minggu, 15 Maret 2015

KOMUNIKE MASYARAKAT SIPIL INDONESIA MENGENAI KONFERENSI DUNIA TENTANG PENGURANGAN RISIKO BENCANA KETIGA

SENDAI, MARET 2015

Platform nasional bekerjasama dengan AADMER, menjelang pertemuan World Conference DRR di  Sendai, 14 – 18 Maret 2015, mengumpulkan catatan penting, yang akan disampaikan di pertemuan tersebut. Pertemuan yang khusus membahas tentang peran dan suara CSO Indonesia ini, menghasilkan catatan kritis, di bawah ini  catatan tersebut yang tertuang dalam komunike bersama


1.  Kami, perwakilan organisasi-organisasi masyarakat sipil Indonesia yang bergerak dalam berbagai aksi-aksi kemanusiaan, melalui komunike ini, bermaksud menyampaikan pokok-pokok pikiran dalam rangka menyambut perhelatan akbar; 3rd World Conference on Disaster Risk Reduction yang akan diselenggarakan di kota Sendai, Miyagi Prefecture, Jepang pada 14-18 Maret 2015; yang kami serap dari berbagai pengalaman empiris bekerja bersama membangun ketangguhan masyarakat lokal dan yang berada di garis depan.

2.     Kami menyambut penyelenggaraan 3rd World Conference on Disaster Risk Reduction 2015 sebagai langkah maju dalam mewujudkan visi bersama, membangun “resilient people” sebagai prasyarat mutlak dalam menciptakan “resilient planet”. Konferensi kali ini bertepatan dengan peringatan empat tahun Gempa dan Tsunami Jepang Timur sebagai salah-satu wake-up call bagi masyarakat dunia untuk senantiasa bersiap dan bersiaga menghadapi ancaman yang maha dahsyat, yang tidak hanya menyebabkan kerusakan harta benda, melainkan juga mampu menghilangkan ratusan ribu jiwa, yang sekali-kali akan terjadi pada saat-saat yang tidak pernah terduga.

3.  Kami memandang, the 3rd World Conference on Disaster Risk Reduction 2015diselenggarakan bertepatan dengan berakhirnya era Millennium Development Goals 2000-2015danlahirnya kerangka global pembangunan berkelanjutan pasca 2015, maka konferensi yang diselenggarakan kali ini hendaknya melahirkan kontribusi-kontribusi yang positif terhadap penguatan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan sebagai fondasi tercapainya pengurangan risiko bencana dan pencegahan atas lahirnya risiko-risiko baru sebagai bentuk tanggungjawab kemanusiaan kita terhadap kepentingan dan martabat dari generasi yang akan datang.

4.       Kami mendesak, the 3rd World Conference on Disaster Risk Reduction 2015untuk turut memberikan jawaban konkret terhadap masalah pemanasan global dan berbagai dampaknya, dengan turut mendesak untuk adanya target pengurangan emisi gas rumah kaca yang ambisius serta mendorong adanya upaya terkoordinasi secara global terhadap peningkatan kapasitas masyarakat yang berada di negara-negara miskin, berkembang, dan kepulauan kecil guna meningkatkan dan mengembangkan kemampuan adaptasi dalam menghadapi berbagai implikasi akibat perubahan iklim.

5.   Kami juga mendesak the 3rd World Conference on Disaster Risk Reduction 2015 guna memberikan tekanan terhadap pentingnya melaksanakan kegiatan-kegiatan ekonomi yang lebih sensitif terhadap risiko dengan cara mendorong dihentikannya berbagai praktik-praktik buruk pengelolaan ekonomi berbasis sumberdaya alam yang tidak memperhatikan keseimbangan ekologis dan berpotensi melahirkan risiko-risiko baru di masa yang akan datang.

6.    The 3rd World Conference on Disaster Risk Reduction 2015 secara khusus ditujukan untuk melahirkan kerangka kerja pengurangan risiko bencana pasca 2015 sebagai pengganti piranti baru untuk mengelola capaian-capaian yang telah diraih selama periode Kerangka Aksi Hyogo 2005-2015 sekaligus mengantisipasi perkembangan ancaman-ancaman bencana dan masalah-masalah kemanusiaan pada aras yang sejalan dengan kerangka global mengenai tujuan-tujuan pembangunan berkelanjutan. Dengan belajar dari pengalaman HFA 2005-2015, keberhasilan komitmen global dalam mewujudkan ketangguhan planet akan sangat bergantung terhadap prasyarat-prasyarat di bawah ini :

1) Dilaksanakannya prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, yakni kerangka pembangunan yang menekankan keseimbangan ekonomi, sosial, dan lingkungan serta yang menjamin hak generasi yang akan datang untuk menikmati segala jenis sumberdaya sebagaimana yang kita nikmati saat ini. Penegakkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan adalah prasyarat untuk adanya pengurangan secara signifikan faktor-faktor risiko mendasar, baik dari segi bahaya maupun kerentanan, khususnya terhadap risiko-risiko “invisible” sebagai akibat dari bencana-bencana skala-kecil yang berlangsung secara perlahan (slow onset), dan lebih banyak terjadi in urban setting.

2)    Adanya upaya yang sistematis dan terarah dalam rangka mengasah kemampuan masyarakat lokal dalam mengelola berbagai risiko-risiko bencana yang dihadapi berdasarkan kapasitas dan sumberdaya yang dimiliki. Investasi pada penguatan kapasitas, pelembagaan budaya keselamatan, dan kesiapsiagaan menuju respon yang efektif perlu ditingkatkan. Pemerintah dan berbagai stakeholder penanggulangan bencana tidak hanya ditantang untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana-bencana yang pernah atau kerap terjadi, tetapi juga dituntut untuk mengasah kemampuan masyarakat dalam mengantisipasi munculnya risiko-risiko baru sebagai akibat dari berbagai bentuk kegagalan pembangunan, seperti ancaman akibat kegagalan teknologi.

3)      Disaster Risk Governance yang accountable.
4)      Kemitraan yang sejajar dan saling-menguntungkan dari berbagai stakeholder.

Jakarta, 9 Maret 2015

  1. Arif Nurkholis – MDMC
  2. Agus Budiarto - Karina
  3. Abdul Muhari –  KKP/Tohoku/Platform Nasional
  4. Asep Benny – Dompet Dhuafa
  5. Anton Agusta – Forum PRB DKI
  6. Andri Murdianto – Rumah Zakat
  7. Anastasia Maylinda - YEU
  8. Ari Nugroho –  Oxfam
  9. Charles Ham – Hope World Wide
  10. Adi Pamungkas – Pramuka Peduli
  11. Dwi Minarto – Perkumpulan Skala
  12. Elva – Politik.com
  13. Gunandar – Kerlip
  14. Heri – Perkumpulan Skala
  15. Ita Balanda – UNICEF
  16. Irina Rafliana – LIPI
  17. Lusiana Yayek – TNOL
  18. Miranti Husein
  19. Martina Estrely – Puskris Psi UI
  20. Nurul Fitry Azizah – Kerlip
  21. R.Y Hariandja – Media Indonesia
  22. Sofyan – Bingkai Indonesia
  23. Syamsul Ardiansyah – Dompet Dhuafa
  24. Surya Rahman – Humanitarian Forum Indonesia
  25. Susilo Budhi – Aksara
  26. Yanti – Kerlip
  27. Rini Dharsono – Perkumpulan Skala
  28. Syafiria – Perkumpulan Skala
  29. Galuh Ruspitawati – Perkumpulan Skala
  30. Victor Rembeth – DRP
  31. Trinirmalaningrum – Perkumpulan Skala
  32. Zam-Zam Muzaki – Kerlip
  33. Suryadi – Wahana Visi Indonesia
  34. Rahmawati Husein – MDMC
  35. Raditya Jati – BNPB
  36. Haryono Budi – Artha Graha Peduli
  37. Sugeng Tri Utomo – DRRI
  38. Puspa - APG
  39. Marlon Lukman – YTBI
  40.  
     
    (ratman/prbapidki)

Jakarta,Salah Satu Kota Besar di Dunia yang Terancam Akan Tenggelam

MENCAIRNYA - Es di kutub utara akibat pemanasan global makin lama makin memprihatinkan. Tiap tahunnya, permukaan air laut naik 1- 3 mm. Bila tidak segera diantisipasi, naiknya permukaan air laut tentu berbahaya bagi kelangsungan hidup manusia yang tinggal di permukaan bumi. Yang lebih berbahayanya, beberapa kota besar di dunia ternyata terancam tenggelam akibat naiknya permukaan air laut, pondasi yang rapuh, maupun penyedotan air tanah.

Fenomena alam yang kian tak menentu sering dijadikan alasan berbagai pihak terkait untuk menjelaskan perihal banjir yang kian akrab dengan ibukota, Jakarta, mereka akan menyebut ‘banjir kiriman dari Bogor.’

Padahal kalau kita mau sedikit lebih jujur, banjir yang kerap melanda ibukota adalah dikarenakan oleh kesemrawutan tata kota yang dimiliki Jakarta. Dengan mudahnya gedung-gedung besar dapat berdiri tanpa memperhatikan aspek-aspek yang terkait seperti dampak negaitfnya pada kondisi alam.

Hamparan hutan beton yang terus meluas endominasi setiap sudut kota. Ruang-ruang hijau yang seharusnya menjadi benteng keseimbangan disulap menjadi pusat perbelanjaan atau perkantoran megah. Padahal alih fungsi kawasan tangkapan atau resapan air tanpa mempertimbangkan keseimbangan ekologis akan berakibat fatal.

Tengoklah wilayah Jakarta sebelah Utara, bila semua daerah ini dirimbuni oleh tanaman Bakau yang berfungsi sebagai garda terdepan pertahanan dari terjangan ROB, maka pemandangan itu tak akan lagi bisa kita jumpai. Dinding-dinding terjal yang dingin dan angkuh dari perumahan mewah telah menggantikannya. Tak heran ketika terjadi air lau mengalami pasang, maka dengan segera sudut-sudut wilayah tersebut akan terendam air, belum lagi jika ditambah guyuran hujan yang cukup lebat.

Dari data yang dikemukakan oleh Dinas Pengembangan DKI Jakarta, pada periode tahun 1982 hingga 1997 telah terjadi ambles tanah di kawasan pusat jakarta mencapai 60 cm hingga 80 cm. Namun karena amblesan itu merata jadi seolah tidak terasa.

Selain habisnya persediaan air tanah, dengan semakin banyaknya gedung-gedung yang berdiri berarti semakin banyak pula air tanah yang tersedot dari perut bumi, makan semakin banyak rongga yang ditinggalkan. Karena sifat bumi yang tidak suka akan kekosongan maka ruang-ruang yang ditinggalkan oleh air tawar pun terisi oleh rembesan air laut.

Maka jadilah air lautyang bersemayam dibawah kaki kita dan menunggu saat naik kepermukaan. Untuk diketahui, air laut membuat tanah menjadi lunak. Dan tanah yang lunak bukanlah tumpuan yang sempurnya untuk bangunan-bangunan dengan beban berat seperti yang ada di Jakarta. Hasilnya, permukaan tanah pun akan terus mengalami penurunan, dan kota Jakarta akan semakin ambles karena tak kuat menahan beban diluar kemampuanya.

Kasus amblesnya sebagia ruas di Jalan RE Martadinata, Jakarta Utara, beberapa waktu lalu yang sempat ramai diberitakan oleh media massa, adalah salah satu indikasi yang patut dicermati.

Sementara itu menurut DR Armi Susandi, MT, seorang ahli yang juga pengajar di Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung (ITB), sebagaimana dilansir Leadership Park.com,  bahwa mungkin saja Jakarta akan tenggelam karena mengingat kondisi Jakarta yang berada lebih rendah bila dibandingkan dengan permukaan air laut.

“Tanpa aturan yang benar, wilayah Jakarta akan segera tenggelam,” katanya. Pernyataan itu semakin diperkuat oleh keterangan yang disampaikan oleh Tim dari kelompok keilmuan Geodasi Institut Teknologi Bandung (ITB) yang melakukan kajian subsidensi permukaan tanah di 23 titik di sekitar Jakarta. Mereka menyimpulkan bahwa penurunan permukaan tanah bervariasi, 2 cm hingga lebih dari 12 cm selama 10 tahun sejak 1997 hingga 2007.

Disisi lain, pada sebuah kesempatan Guru Besar Oceanograf Institut Teknologi bandung (ITB), Prof. Safwan Hadi juga menjelaskan bahwa akibat ketidak tegasan pemerintah dalam membatasi pembangunan dan pengambilan air tanah ini diberbagai daerah Ibukota, utamanya yang dekat dengan laut, benar-benar terancam tenggelam.

Sudhamenjadi rahasia umum bahwa banjir yang kini rutin menyambangi Ibukota bukan mutlak akibat fenomena alam yang tak kunjung pasti. Namun lebih dikarenakan faktor manusianya.

Selain Jakarta, berikut  kota – kota besar di dunia yang juga terancam tenggelam, sebagai berikut :


Jakarta, Indonesia

Selain letak geografis yang berada di bawah permukaan air laut, kebutuhan akan air tanah yang tinggi ditengarai menjadi salah satu penyebab tenggelamnya daratan Jakarta. Populasi penduduk yang terus meningkat menjadi alasan utama kebutuhan akan air tanah. Dalam kurun waktu 20 tahun ke depan, diperkirakan jumlah penduduk di Ibukota meningkat hingga 40 juta jiwa.

Pakar hidrologi asal Belanda, JanJaap Brinkman menjelaskan jika proses penyedotan air tanah  terus-menerus dilakukan, di penghujung abad ke-21, Jakarta akan tenggelam sedalam lima hingga enam meter. Tinggal menunggu waktu Jakarta akan tenggelam di bawah air laut sebagaimana kota Atlantis.

Kota-kota tersebut terancam tenggelam akibat naiknya permukaan air laut dan pemanasan global. Jika kita tak mengubah cara kita memperlakukan bumi, kota-kota tersebut akan benar-benar tenggelam tanpa kita bisa berbuat apapun. Yuk, mulai peduli kepada lingkungan.


Shanghai, China

Shanghai dahulunya hanyalah sebuah tempat yang dikelilingi rawa. Kebutuhan akan tempat tinggal dan jumlah penduduk yang membengkak membuat bangunan pencakar langit makin banyak di daerah  tersebut. Tak heran, tiap tahunnya permukaan tanah di Shanghai turun setengah inchi. Berdasarkan data PBS, permukaan tanah di Shanghai turun sekitar 2,4 meter dalam rentang waktu tahun 1921 hingga 1965. Para ahli memperkirakan, tanah di Shanghai tak mampu lagi menahan beban berat bangunan di atasnya. Diprediksi suatu saat Shanghai akan tenggelam apabila Sungai Yangze meluap.


Ho Chi Minh City (Saigon), Vietnam

Salah satu kota terpadat di Asia Tenggara ini juga terancam tenggelam. Menurunnya permukaan tanah membuat daerah ini rawan banjir. Setiap tahunnya, ketinggian banjir meninggi setinggi 2cm.

Bangkok, Thailand

Kepala Pusat Peringatan Bencana Nasional Thailand, Smith Dharmasaroja, memprediksi pada tahun 2100 Bangkok akan menjadi Atlantis kedua. Kota ini akan tenggelam disebabkan beberapa faktor, seperti: perubahan iklim akibat efek rumah kaca, naiknya permukaan air laut, erosi pantai, serta pergeseran tanah. Ditambah lagi letak kota yang rendah menyebabkan Bangkok setiap tahunnya selalu mengalami banjir.

 Mumbai, India

Tak jauh berbeda dengan Bangkok, kelompok aktivis Greenpeace memperkitakan pada tahun 2100 kota Mumbai akan tenggelam oleh air laut. Naiknya air laut hingga 5 meter menyebabkan kota ini masyarakat di kota terancam kelangsungannya.

Meksiko City, Meksiko

Kota yang satu ini tiap tahunnya tenggelam sedalam 20cm bila terjadi banjir. Letaknya yang berada di lembah ditambah sistem drainase yang buruk membuat Meksiko City terancam tenggelam. Sejak tahun 1975, kapasitas drainase kota tersebut turun 30 persen. Namun kini pemerintah sedang mengusahakan pembuatan terowongan drainase raksasa yang diklaim dapat menampung air cukup banyak.

New York, Amerika Serikat

Naiknya permukaan air laut ternyata turut mengancam kota di Amerika Serikat ini.  Posisinya yang berada di mulut sungai Hudson yang terhubung langsung ke samudera Atlantik turut menjadi pemicunya. Science Daily memprediksi, air laut kota tersebut naik dua kali lipat dibanding lautan lainnya. Tak hanya itu, erosi pantai, penurunan lapisan tanah dan perusakan lingkungan juga bisa memicu luapan air di kota yang dikenal sebagai pusat bisnis dunia tersebut.

Venesia, Italia

Akhir tahun 2012, kota ini terendam banjir parah. Fenomena ini hadir karena gabungan dari hujan lebat dan angin dari selatan. Setidaknya 70 persen daratan di kota kanal ini terendam banjir dengan kedalaman hingga mencapai 1,5 meter di atas normal. Banjir itu rupanya salah satu indikasi bahwa kawasan Venesia terus tenggelam. Christian Science Monitor bahkan mencatat, kota itu turun permukaan tanahnya sepanjang 30 cm selama 100 tahun terakhir. Meningkatnya ketinggian air di Laut Mediterania menambah besar kemungkinan kota kanal itu tenggelam.


(Disarikan dari berbagai sumber, antara lain : Liputan 6 SCTV, Leadership-Park.com, dan berbagai sumber lain. Diolah demi kepentingan penyadaran kesiapsiagaan bencana, bukan menantang bencana).


(W. Suratman, saat ini bekerja di Pusdalops BPBD DKI Jakarta)