MENCAIRNYA - Es
di kutub utara akibat pemanasan global makin lama makin memprihatinkan. Tiap
tahunnya, permukaan air laut naik 1- 3 mm. Bila tidak segera diantisipasi,
naiknya permukaan air laut tentu berbahaya bagi kelangsungan hidup manusia yang
tinggal di permukaan bumi. Yang lebih berbahayanya, beberapa kota besar di
dunia ternyata terancam tenggelam akibat naiknya permukaan air laut, pondasi yang
rapuh, maupun penyedotan air tanah.
Fenomena alam yang kian tak menentu sering
dijadikan alasan berbagai pihak terkait untuk menjelaskan perihal banjir yang
kian akrab dengan ibukota, Jakarta, mereka akan menyebut ‘banjir kiriman dari
Bogor.’
Padahal kalau kita mau sedikit lebih jujur,
banjir yang kerap melanda ibukota adalah dikarenakan oleh kesemrawutan tata
kota yang dimiliki Jakarta. Dengan mudahnya gedung-gedung besar dapat berdiri
tanpa memperhatikan aspek-aspek yang terkait seperti dampak negaitfnya pada
kondisi alam.
Hamparan hutan beton yang terus meluas
endominasi setiap sudut kota. Ruang-ruang hijau yang seharusnya menjadi benteng
keseimbangan disulap menjadi pusat perbelanjaan atau perkantoran megah. Padahal
alih fungsi kawasan tangkapan atau resapan air tanpa mempertimbangkan
keseimbangan ekologis akan berakibat fatal.
Tengoklah wilayah Jakarta sebelah Utara, bila
semua daerah ini dirimbuni oleh tanaman Bakau yang berfungsi sebagai garda
terdepan pertahanan dari terjangan ROB, maka pemandangan itu tak akan lagi bisa
kita jumpai. Dinding-dinding terjal yang dingin dan angkuh dari perumahan mewah
telah menggantikannya. Tak heran ketika terjadi air lau mengalami pasang, maka
dengan segera sudut-sudut wilayah tersebut akan terendam air, belum lagi jika
ditambah guyuran hujan yang cukup lebat.
Dari data yang dikemukakan oleh Dinas
Pengembangan DKI Jakarta, pada periode tahun 1982 hingga 1997 telah terjadi
ambles tanah di kawasan pusat jakarta mencapai 60 cm hingga 80 cm. Namun karena
amblesan itu merata jadi seolah tidak terasa.
Selain habisnya persediaan air tanah, dengan
semakin banyaknya gedung-gedung yang berdiri berarti semakin banyak pula air
tanah yang tersedot dari perut bumi, makan semakin banyak rongga yang
ditinggalkan. Karena sifat bumi yang tidak suka akan kekosongan maka
ruang-ruang yang ditinggalkan oleh air tawar pun terisi oleh rembesan air laut.
Maka jadilah air lautyang bersemayam dibawah
kaki kita dan menunggu saat naik kepermukaan. Untuk diketahui, air laut membuat
tanah menjadi lunak. Dan tanah yang lunak bukanlah tumpuan yang sempurnya untuk
bangunan-bangunan dengan beban berat seperti yang ada di Jakarta. Hasilnya,
permukaan tanah pun akan terus mengalami penurunan, dan kota Jakarta akan
semakin ambles karena tak kuat menahan beban diluar kemampuanya.
Kasus amblesnya sebagia ruas di Jalan RE
Martadinata, Jakarta Utara, beberapa waktu lalu yang sempat ramai diberitakan
oleh media massa, adalah salah satu indikasi yang patut dicermati.
Sementara itu menurut DR Armi Susandi, MT,
seorang ahli yang juga pengajar di Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian
Institut Teknologi Bandung (ITB), sebagaimana dilansir Leadership Park.com, bahwa
mungkin saja Jakarta akan tenggelam karena mengingat kondisi Jakarta yang
berada lebih rendah bila dibandingkan dengan permukaan air laut.
“Tanpa aturan yang benar, wilayah Jakarta akan
segera tenggelam,” katanya. Pernyataan itu semakin diperkuat oleh keterangan
yang disampaikan oleh Tim dari kelompok keilmuan Geodasi Institut Teknologi
Bandung (ITB) yang melakukan kajian subsidensi permukaan tanah di 23 titik di
sekitar Jakarta. Mereka menyimpulkan bahwa penurunan permukaan tanah
bervariasi, 2 cm hingga lebih dari 12 cm selama 10 tahun sejak 1997 hingga
2007.
Disisi lain, pada sebuah kesempatan Guru Besar
Oceanograf Institut Teknologi bandung (ITB), Prof. Safwan Hadi juga menjelaskan
bahwa akibat ketidak tegasan pemerintah dalam membatasi pembangunan dan
pengambilan air tanah ini diberbagai daerah Ibukota, utamanya yang dekat dengan
laut, benar-benar terancam tenggelam.
Sudhamenjadi rahasia umum bahwa banjir yang
kini rutin menyambangi Ibukota bukan mutlak akibat fenomena alam yang tak
kunjung pasti. Namun lebih dikarenakan faktor manusianya.
Jakarta, Indonesia
Selain letak geografis
yang berada di bawah permukaan air laut, kebutuhan akan air tanah yang tinggi
ditengarai menjadi salah satu penyebab tenggelamnya daratan Jakarta. Populasi
penduduk yang terus meningkat menjadi alasan utama kebutuhan akan air tanah.
Dalam kurun waktu 20 tahun ke depan, diperkirakan jumlah penduduk di Ibukota
meningkat hingga 40 juta jiwa.
Pakar hidrologi asal
Belanda, JanJaap Brinkman menjelaskan jika proses penyedotan air tanah
terus-menerus dilakukan, di penghujung abad ke-21, Jakarta akan tenggelam
sedalam lima hingga enam meter. Tinggal menunggu waktu Jakarta akan tenggelam
di bawah air laut sebagaimana kota Atlantis.
Kota-kota tersebut
terancam tenggelam akibat naiknya permukaan air laut dan pemanasan global. Jika
kita tak mengubah cara kita memperlakukan bumi, kota-kota tersebut akan
benar-benar tenggelam tanpa kita bisa berbuat apapun. Yuk, mulai peduli kepada
lingkungan.
Shanghai, China
Shanghai dahulunya hanyalah sebuah tempat yang
dikelilingi rawa. Kebutuhan akan tempat tinggal dan jumlah penduduk yang
membengkak membuat bangunan pencakar langit makin banyak di daerah
tersebut. Tak heran, tiap tahunnya permukaan tanah di Shanghai turun setengah
inchi. Berdasarkan data PBS, permukaan tanah di Shanghai turun sekitar 2,4
meter dalam rentang waktu tahun 1921 hingga 1965. Para ahli memperkirakan,
tanah di Shanghai tak mampu lagi menahan beban berat bangunan di atasnya.
Diprediksi suatu saat Shanghai akan tenggelam apabila Sungai Yangze meluap.
Ho Chi Minh City (Saigon), Vietnam
Salah satu kota terpadat di Asia Tenggara ini
juga terancam tenggelam. Menurunnya permukaan tanah membuat daerah ini rawan
banjir. Setiap tahunnya, ketinggian banjir meninggi setinggi 2cm.
Bangkok, Thailand
Kepala Pusat Peringatan Bencana Nasional
Thailand, Smith Dharmasaroja, memprediksi pada tahun 2100 Bangkok akan menjadi
Atlantis kedua. Kota ini akan tenggelam disebabkan beberapa faktor, seperti:
perubahan iklim akibat efek rumah kaca, naiknya permukaan air laut, erosi
pantai, serta pergeseran tanah. Ditambah lagi letak kota yang rendah
menyebabkan Bangkok setiap tahunnya selalu mengalami banjir.
Mumbai,
India
Tak jauh berbeda dengan Bangkok, kelompok
aktivis Greenpeace memperkitakan pada tahun 2100 kota Mumbai akan tenggelam
oleh air laut. Naiknya air laut hingga 5 meter menyebabkan kota ini masyarakat
di kota terancam kelangsungannya.
Meksiko City, Meksiko
Kota yang satu ini tiap tahunnya tenggelam
sedalam 20cm bila terjadi banjir. Letaknya yang berada di lembah ditambah
sistem drainase yang buruk membuat Meksiko City terancam tenggelam. Sejak tahun
1975, kapasitas drainase kota tersebut turun 30 persen. Namun kini pemerintah
sedang mengusahakan pembuatan terowongan drainase raksasa yang diklaim dapat
menampung air cukup banyak.
New York, Amerika Serikat
Naiknya permukaan air laut ternyata turut
mengancam kota di Amerika Serikat ini. Posisinya yang berada di mulut
sungai Hudson yang terhubung langsung ke samudera Atlantik turut menjadi
pemicunya. Science Daily memprediksi, air laut kota tersebut naik dua kali
lipat dibanding lautan lainnya. Tak hanya itu, erosi pantai, penurunan
lapisan tanah dan perusakan lingkungan juga bisa memicu luapan air di kota yang
dikenal sebagai pusat bisnis dunia tersebut.
Venesia, Italia
Akhir tahun 2012, kota ini terendam banjir
parah. Fenomena ini hadir karena gabungan dari hujan lebat dan angin dari
selatan. Setidaknya 70 persen daratan di kota kanal ini terendam banjir dengan
kedalaman hingga mencapai 1,5 meter di atas normal. Banjir itu rupanya
salah satu indikasi bahwa kawasan Venesia terus tenggelam. Christian Science
Monitor bahkan mencatat, kota itu turun permukaan tanahnya sepanjang 30 cm selama
100 tahun terakhir. Meningkatnya ketinggian air di Laut Mediterania
menambah besar kemungkinan kota kanal itu tenggelam.
(Disarikan
dari berbagai sumber, antara lain : Liputan 6 SCTV, Leadership-Park.com, dan
berbagai sumber lain. Diolah demi kepentingan penyadaran kesiapsiagaan bencana,
bukan menantang bencana).
(W. Suratman,
saat ini bekerja di Pusdalops BPBD DKI Jakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar